Don’t Judge a Book by Its Cover

download (3)

Kalo boleh menebak saya yakin bahwa rata-rata pembaca blog saya sudah mengetahui arti atau makna “Don’t Judge The Book By Its Cover”, jika ada yang mendefinisikan secara harfiah maka akan ada pula yang mendefinisikan kalimat tersebut dengan definisi istilah.  Tidak ada yang salah karena setiap orang punya pendapatnya masing-masing. Di artikel ini saya kan membahasnya dengan definisi secara harfiah “Jangan menilai buku hanya lewat sampulnya saja”, begitulah arti secara harfiahnya.

Lantas jika kita tidak boleh menilai buku lewat sampulnya bagaimana kita menilai apakah buku tersebut bagus, bermanfaat, dan layak dibaca kira-kira seperti itulah pertanyaan yang akan muncul setelah membaca paragraf satu di atas. Saat pergi ke toko buku, hal pertama yang menarik perhatian saat memilih sebuah buku tentu membaca judulnya. Judul yang menarik selanjutnya akan membuat pembaca untuk memutuskan membaca saja di tempat ataukah membeli buku tersebut. Banyaknya pilihan ketika ke toko buku tentu akan membuat pusing bagi yang budgetnya minim. Jangan sampailah kecewa gara-gara salah memilih buku.

Saya sendiri saat memutuskan membeli atau tidak, seringnya pilihan jadi gugur saat membaca sinopsisnya. Novel Rindu karya Tere Liye yang best seller itu tak membuat saya tertarik untuk membelinya setelah membaca sinopsisnya, padahal di Grup Kampoeng Kata Kata novel Rindu sempat dipromosikan. Ah biarkan saja mereka memilih novel Rindu, saya akan memilih sendiri novel apa yang akan saya baca. Ada beberapa referensi judul novel Tere Liye yang lain sebenarnya tapi beberapa diantaranya lagi kosong stok.  Satu minggu setelah pergi ke toko buku dan sempat membaca sinopsis novel Rindu, saya malah membuat artikel dengan judul  Rindu yang Terlarang.

Keadaan toko buku malam itu tampak sepi hanya ada beberapa orang pengunjung, seorang bapak dengan anak lelakinya sedang memilih buku di deretan rak Novel, ada juga seorang bapak dengan anak perempuannya yang masuk ke toko saat saya sedang memilih buku yang dipajang di rak best seller, kemudian saya berpikir mungkin ibunya sedang belanja sementara sang bapak mengajak anaknya pergi ke toko buku.  Saya tak memperhatikan mereka lebih lama, buku-buku di depan saya seolah memanggil-manggil saya agar saya bersedia membawa mereka pulang ke rumah. “Pilih saya pilih saya pilih saya”, begitu kali suara hati buku yang merajuk agar saya mau membawa mereka pulang dan membacanya di rumah. Apa yang lebih menyenangkan bagi sebuah buku selain saat ada yang orang yang mau membacanya.

Malam itu 23 April 2015, pertama kalinya saya akan memutuskan membeli  sebuah novel. Saya tak pernah membeli novel karena merasa tak lagi muda dan kurang begitu suka, maka malam itu bagaikan sebuah penentuan bagi saya, menentukan apakah saya akan mulai menyukai novel atau tidak keputusannya ditentukan saat itu. Berkali-kali memilih judul novel tapi kemudian saya letakkan lagi. Mata saya bergerak mencari buku yang akan membuat saya membangun cinta kepada karya sastra yang bernama novel.

Buku itu sampul depannya berlatar belakang sebuah pantai dengan sebatang pohon yang disinari cahaya matahari yang tingginya nampak sejajar dengan tinggi pohon. Saya balik buku itu, mencoba membaca sinopsisnya paragraf pertama dilanjut deretan kata-kata di paragraf berikutnya, kemudian saat membaca awal kalimat di paragraf terakhir, saya berkata dalam hati “nah ini dia buku yang saya cari”. Membaca judulnya saja buku ini sudah sarat makna dan untaian sebuah doa, maka saya putuskan untuk membelinya.

Selain pertimbangan judul dan isi saya memilih juga dengan pertimbangan bahwa novel ini layak dibaca oleh Ipi gadis kecil saya yang baru berusia 9,3 tahun. Si Ipi yang rasa ingin taunya begitu tinggi pasti akan membaca buku yang saya beli begitu tebakan saya malam itu. Benar saja ketika saya sampai di rumah, Ipi begitu antusias membuka pembungkus plastik novel yang saya beli. Ipi juga yang pertama kali membaca novel itu sebelum saya sempat membacanya. Sementara saya karena rasa lelah yang teramat sangat, baru bisa membaca novel itu keesokan harinya.

Novel ini akan menjadi pembuka jalan saya untuk membeli novel-novel berikutnya, seperti ucapan saya pada seorang teman “tolong pilihkan saya sebuah judul novel yang akan membuat saya memutuskan untuk membeli dan membaca novel lagi”. Dan Allah yang menuntun saya untuk membeli novel berjudul “Bidadari Bidadari Surga”

11185815_493820134104610_345887482_n

Rindu yang Terlarang

Menunggu adalah  sesuatu yang perlu sedikit kesabaran untuk bisa dijalani, apalagi harus menunggu di depan rumah sendiri karena nggak ada pintu terbuka. Mommy cepat pulang, I’m waiting for you. Duduk di bawah pohon kersen ditemani sepiring gorengan yang baru diangkat dari penggorengan sehingga belum bisa dimakan karena panasnya bisa bikin lidah mati rasa.

Hidup itu harus dinikmati apapun keadaannya. Sambil menunggu gorengan menghangat kita mulai saja petualangan kita di dunia bebaca.

***

Hari ini cuaca mendung seharian beneran “berasa suasana Malang” begitu teman saya menggambarkan betapa sejuknya cuaca hari ini. Kulihat langit putih sedikit abu-abu menandakan mendung yang merata di wilayah Kota Bangkalan.

“Mbak… saya baca terus lho artikel mbak” Ucapnya padaku dengan penuh antusias.

“Oya, wah terima kasih. Trus gimana bu?” Dalam hati saya merasa senang karena ada yang mau baca, apalagi saya termasuk pemula dalam dunia penulisan artikel.

“Waktu itu jam 11 buka FB, pas mbak Ria posting  jadi langsung dibaca artikelnya. Trus waktu subuh buka FB eh… artikel mbak Ria juga yang muncul pertama, langsung dibaca lagi deh. Saya baca terus lho mbak artikelnya dari awal, bahkan kadang malah sampai 2 kali jika ada yang belum dimengerti. Kalo mau tidur saya sempatkan baca artikel mbak Ria” Ceritanya panjang lebar padaku.

Ya Allah betapa bahagianya saya hari ini, engkau kirimkan seorang teman yang mau berbagi dengan saya. Lagu-lagu mellow yang sedari tadi mengusik hati langsung berubah menjadi sebuah semangat baru.

Saya mendesaknya untuk bercerita lebih jauh tentang kesannya setelah membaca tulisan saya “Ayo dong kasih saran, gimana artikel saya”. Saya butuh masukan, kritikan sebagai bahan bagi saya untuk bisa mengembangkan ide menjadi sesuatu yang lebih menarik lagi. “Ceritakan saja apa adanya” imbuhku.

“Ibaratnya sebuah rumah, tulisan mbak Ria itu sudah lengkap ada pondasinya, ada lantainya, ada temboknya ada atapnya, yang kurang itu apanya ya…. Itu lho mbak tulisannya kurang indah, kurang hiasannya. Maaf lho mbak.”

“Nggak apa kok bu, cerita aja saya senang kok ada yang mau kasih masukan.”

Dengan sedikit perasaan tak enak takut saya tersinggung beliau menyampaikan dengan nada bicara blak-blakan dan apa adanya “Maaf ni mbak, saya sendiri belum bisa nulis. Tapi saya merasa tulisan mbak Ria itu mudah ditebak bercerita tentang keseharian. Tulisan mbak Ria itu nggak jelas mana klimaksnya, apa pakai flashback atau alur yang awalnya datar terus naik dan berakhir datar. Saya suka cerita yang misteri gitu mbak, yang bikin bertanya-tanya gimana akhir ceritanya”

Saya yang sudah mengenalnya selama 2 tahun terakhir ini ya nggak ada masalah dengan sikap dan gaya beliau yang ceplas ceplos. Andai nggak ada sekat jabatan diantara kami tentu saya akan panggil dia dengan Mbak aja daripada Ibu. “Gitu ya” tanggapan singkat saya atas masukannya.

“Iya. Eh tapi jangan lantas karena masukan dari saya mbak terus berubah. Mungkin sayanya aja yang kurang bisa memahami maksud tulisan mbak Ria”

“He… Tenang aja saya akan tetap seperti apa adanya saya. Kalo soal tulisan emang itu punya maksud jangka panjang bu. Awalnya sih cuma ikutan tantangan nulis selama 15 hari berturut-turut, dan artikelnya harus 350 kata, jadi ya biar genap ceritanya ditambah sana sini” Sambil tersenyum saya berusaha meyakinkan bahwa I just want to be my own self. This is me with my simple think.

Cerita masih berlanjut,

“Saya kan kenal mbak Ria, saya merasa tulisan mbak Ria itu sama sekali nggak seperti Mbak Ria sehari-hari. Beneran nggak nampak dalam keseharian mbak Ria. Lewat tulisan itu saya baru tau kalo mbak Ria senang membaca. Mbak Ria lebih kuat di tulisan daripada aslinya.”

Untuk yang terakhir ini saya nggak tau harus senang atau bahagia. You are my best friend madam, I’ll be ears when you start to tell about my article or when you wanna share your problem, I’ll try to be there for you.

images (11)

Saya mengganggap Ibu lebih dari sekedar teman baik, ketika ibu berkata “Mbak Ria saya nggak peduli masa lalu mbak Ria, Saya hanya tau mbak Ria sekarang seperti ini, seperti yang saya lihat sejak pertama kenal mbak Ria.”

Lagu itu terngiang kembali…

Ku puisikan rinduku untukmu

Kuharap tiada seorangpun tau

Biar kupendam sudah…  biar kusimpan semua…, terlarang sudah rinduku padamu

Ibu, saya rindu ketika lama kita tak bertemu, saya rindu cerita-cerita itu. Rindu kebersamaan itu. Rindu gelak tawa yang tercipta karena kekonyolan kita. Saya nggak punya kakak perempuan, ijinkan saya menganggap Ibu sebagai kakak saya.